Bagi
yang sudah berkeluarga dan menjadi orang tua, mungkin mengalami sendiri
punya anak yang kadang rewel. Namun, ada baiknya tidak melabeli anak dengan sebutan yang cenderung tendensius itu. Siapa tahu
dibalik semua itu ada “peran” Anda sebagai orang tua?. ya kan!
Anggia
Chrisanti Wiranto, konselor dan terapis EFT (emotional freedom
technique) di biro psikologi Westaria (www.westaria.com), menyebutkan
bermacam jenis rewel pada anak agar para orang tua memahaminya. Mulai dari mudah
menangis (cengeng), mudah marah, mudah mengamuk (tantrum), mudah
tersinggung, hingga rewel dengan tipe yang selalu minta ini-itu (apa
saja diminta). Ada yang terus-menerus, ada yang munculnya kadang-kadang.
Misalnya,
anak rewel hanya saat menjelang tidur, saat ada di keramaian, atau
bertamu di rumah orang. Ada yang sejak lahir, ada pula yang munculnya
“baru-baru ini”, seperti saat punya adik baru atau baru masuk sekolah.
“Tentu
sampai ada istilah 'anak rewel', karena ada 'anak anteng'. Ini
kebalikannya, karena anak mudah diajak bicara, mudah ditenangkan, mudah
diajak main, mengalah dengan yang kecil, menghormati yang besar, tidak
banyak menuntut dan minta ini-itu, dan lain sebagainya,” ujar Anggia.
“Masalahnya, ketika kita bicara tentang anak (baik anak yang baru lahir
sampai anak yang sudah mulai beranjak remaja atau bahkan dewasa), satu
pertanyaan, kenapa ada anak yang rewel?”
Jawabannya sebagai berikut, seperti dituturkan Anggia:
1.Ingat,
anak adalah fotokopi orang tua. Sebelum menyalahkan orang lain atau
lingkungan karena mengontaminasi anak kita menjadi rewel, lihatlah dulu
diri kita sebagai orang tua. Karena, sekolah pertama adalah rumah. Guru
pertama adalah orang tua. Sebelum meniru yang lainnya, tentu perilaku
orang tua yang ditiru anak. Jika anak rewel, jangan-jangan karena kita,
orang tua, juga rewel.
2.Berdasarkan salah satu teori perkembangan
dan pertumbuhan yang menyatakan “setiap sejak bertemunya sel telur dan
sperma, saat itu janin sudah memiliki kemampuan melihat dan mendengar”.
Artinya, anak tahu apa yang terjadi di luar rahim. Terutama yang
dilakukan ibunya. Jika sejak masa kehamilan ibu mengalami “kondisi
negatif” hingga sengaja atau pun tidak rewel (misalnya, kehamilan yang
tidak diharapkan, kondisi emosi yang tidak stabil dan tidak
terselesaikan, masalah-masalah dengan pasangan, dan lain-lain), jangan
heran kalau anak yang masih berupa janin ini sudah mulai “belajar
rewel”.
3.Rewel bisa dikatakan sebagai kondisi emosi. Rewel juga
bisa dibilang sebagai ketidakmampuan menghadapi hal-hal yang dianggap
tidak nyaman. Kondisi emosional sifatnya menurun atau ditularkan. Anak
yang mudah tersinggung, biasanya hasil didikan orang tua yang mudah
tersinggung. Ketidakmampuan orang tua dalam menghadapi ketidaknyamanan,
kemudian rewel, ini juga amat mudah dipelajari dan ditiru anak.
4.Jika
orang tua tidak merasa menurunkan, menularkan, dan tidak juga
mengajarkan sifat rewel, bisa jadi itu sekadar trial and error. Hal yang
sangat lumrah dilakukan setiap manusia, terutama untuk memenuhi
kebutuhannya. Misalnya, anak sering dicueki. Maka anak akan rewel agar
orang tuanya memberi perhatian. Satu atau dua kali melakukannya dan
berhasil mendapatkan keinginannya, tidak menutup kemungkinan rewel jadi
sifat yang menetap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar