Minggu, 04 November 2012

Kenapa Anak Rewel?


Bagi yang sudah berkeluarga dan menjadi orang tua, mungkin mengalami sendiri punya anak yang kadang rewel. Namun, ada baiknya tidak melabeli anak dengan sebutan yang cenderung tendensius itu. Siapa tahu dibalik semua itu ada “peran” Anda sebagai orang tua?. ya kan!
Anggia Chrisanti Wiranto, konselor dan terapis EFT (emotional freedom technique) di biro psikologi Westaria (www.westaria.com), menyebutkan bermacam jenis rewel pada anak agar para orang tua memahaminya. Mulai dari mudah menangis (cengeng), mudah marah, mudah mengamuk (tantrum), mudah tersinggung, hingga rewel dengan tipe yang selalu minta ini-itu (apa saja diminta). Ada yang terus-menerus, ada yang munculnya kadang-kadang.
Misalnya, anak rewel hanya saat menjelang tidur, saat ada di keramaian, atau bertamu di rumah orang. Ada yang sejak lahir, ada pula yang munculnya “baru-baru ini”, seperti saat punya adik baru atau baru masuk sekolah.
“Tentu sampai ada istilah 'anak rewel', karena ada 'anak anteng'. Ini kebalikannya, karena anak mudah diajak bicara, mudah ditenangkan, mudah diajak main, mengalah dengan yang kecil, menghormati yang besar, tidak banyak menuntut dan minta ini-itu, dan lain sebagainya,” ujar Anggia. “Masalahnya, ketika kita bicara tentang anak (baik anak yang baru lahir sampai anak yang sudah mulai beranjak remaja atau bahkan dewasa), satu pertanyaan, kenapa ada anak yang rewel?”
Jawabannya sebagai berikut, seperti dituturkan Anggia:
1.Ingat, anak adalah fotokopi orang tua. Sebelum menyalahkan orang lain atau lingkungan karena mengontaminasi anak kita menjadi rewel, lihatlah dulu diri kita sebagai orang tua. Karena, sekolah pertama adalah rumah. Guru pertama adalah orang tua. Sebelum meniru yang lainnya, tentu perilaku orang tua yang ditiru anak. Jika anak rewel, jangan-jangan karena kita, orang tua, juga rewel.
2.Berdasarkan salah satu teori perkembangan dan pertumbuhan yang menyatakan “setiap sejak bertemunya sel telur dan sperma, saat itu janin sudah memiliki kemampuan melihat dan mendengar”. Artinya, anak tahu apa yang terjadi di luar rahim. Terutama yang dilakukan ibunya. Jika sejak masa kehamilan ibu mengalami “kondisi negatif” hingga sengaja atau pun tidak rewel (misalnya, kehamilan yang tidak diharapkan, kondisi emosi yang tidak stabil dan tidak terselesaikan, masalah-masalah dengan pasangan, dan lain-lain), jangan heran kalau anak yang masih berupa janin ini sudah mulai “belajar rewel”.
3.Rewel bisa dikatakan sebagai kondisi emosi. Rewel juga bisa dibilang sebagai ketidakmampuan menghadapi hal-hal yang dianggap tidak nyaman. Kondisi emosional sifatnya menurun atau ditularkan. Anak yang mudah tersinggung, biasanya hasil didikan orang tua yang mudah tersinggung. Ketidakmampuan orang tua dalam menghadapi ketidaknyamanan, kemudian rewel, ini juga amat mudah dipelajari dan ditiru anak.
4.Jika orang tua tidak merasa menurunkan, menularkan, dan tidak juga mengajarkan sifat rewel, bisa jadi itu sekadar trial and error. Hal yang sangat lumrah dilakukan setiap manusia, terutama untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya, anak sering dicueki. Maka anak akan rewel agar orang tuanya memberi perhatian. Satu atau dua kali melakukannya dan berhasil mendapatkan keinginannya, tidak menutup kemungkinan rewel jadi sifat yang menetap.

Tidak ada komentar: